Peristiwa itu


Waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika saya tiba di terminal Cilembang, Tasikmalaya. Saya mencari elf (minibus) yang ke arah Singaparna. Masih kosong. Saya pun mengambil tempat duduk di depan, di samping sopir.

Terminal tampak ramai. Beberapa orang nongkrong di warung sekadar menghangatkan badan dengan semangkok bubur kacang atau segelas kopi. Dari arah depan sesosok perempuan muda berusia sekitar pertengahan 20-an mengenakan celana jins, kaos, dan jaket jins sepinggang berjalan ke arah terminal. Saya memperhatikan perempuan itu.

Tiba-tiba seorang laki-laki menggendongnya dan membawanya ke dalam elf di depan minibus yang saya naiki. Perempuan itu tampak meronta-ronta, tapi tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki yang menggendongnya. Sejumlah laki-laki lain mengikutinya sambil tertawa-tawa.

Perempuan itu ditidurkan di kursi mobil paling belakang. Masih tampak meronta-ronta dan berteriak-teriak. Tak lama tampak dari kaca belakang kakinya bergerak-gerak terangkat, kali ini tanpa celana jins yang sebelumnya membalutnya. Laki-laki yang tadi membawanya terlihat berada di antara kaki-kaki itu. Sejumlah laki-laki di sekelilingnya yang menyaksikan dari jendela-jendela samping mobil tertawa lebih keras dan berteriak-teriak menyemangati.

Jantung saya berdebar sangat kencang. Meski tak bisa melihat langsung, tapi saya bisa menduga apa yang sedang terjadi. Namun saya tak mampu berbuat apa-apa untuk menolong perempuan itu.

Selang beberapa menit kemudian salah seorang laki-laki yang menonton kejadian itu menghampiri mobil yang saya tumpangi, kemudian duduk di kursi sopir di sebelah saya. Dia masih tertawa. Saya memberanikan diri berkata kepadanya: “Itu kenapa dibiarin? Kenapa gak ada yang menolong perempuan itu? Kok malah ditonton?”

“Itu mah perempuan sakit, Teh,” jawabnya.

“Meski sakit dia juga manusia kan? Dia punya keluarga. Bagaimana kalau keluarga Aa yang diperlakukan seperti itu?” protes saya.

Laki-laki, yang saya kira supir mobil yang saya tumpangi, turun dan berjalan ke arah kerumunan yang masih tertawa-tawa dan bersorak-sorak.

Udah bubar-bubar!!” Katanya membubarkan sambil mengibas-ibaskan tangannya terus mengetuk-ngetuk jendela mobil tempat kejadian berlangsung. Kerumunan itu pun bubar. Laki-laki dan perempuan yang ada di dalam mobil ke luar. 

Setelah itu tampak perempuan berbaju jins berjalan lagi di sekitar terminal seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Naudzubillahi mindzalik. Mungkin karena dia “sakit” jadi dia tidak perduli dengan apa yang terjadi pada dirinya.

Laki-laki yang tadi berada di dalam mobil menuju ke arah elf yang saya naiki dan duduk di bangku supir. Ya Allah… Ternyata dia sopir saya. Saya melirik ke samping dengan jijik, tapi tak berani berkata-kata.

Mobil sudah penuh dan akhirnya bergerak. Dini hari itu mobil tak bisa melaju cepat karena tiba-tiba kabut tebal turun menghalangi penglihatan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman body rafting di Citumang Pangandaran: Seru dan Berkesan!

Memaafkan Diri Sendiri: Hadiah Terbaik untuk Hati

Pesona Pantai Pangandaran yang Tak Terlupakan