Minggat


Mata air alam ini begitu bening. Berada di antara rimbunan pohon-pohon di lokasi Pesantren Cipicung, Conggeang, salah satu kecamatan di Sumedang. Sepupu saya dan teman-temannya tampak berenang sambil tertawa-tawa. Pemandangan yang menggoda.

Saya pun membuka baju dan langsung bergabung bersama mereka. Entah berapa lama kami berenang, dan baru selesai setelah hari menjelang sore. Saya berjalan ke arah rumah nenek yang berjarak sekitar satu kilometer dari mata air itu.

“Assalamu’alaikum,” kata saya sembari masuk ke rumah.

“wa’alaikumussalam. Eteh dari mana?” Tanya nenek.

“Berenang di Cipicung,” jawab saya santai.

“Lain kali jangan berenang lagi di situ ya? Kalau ada apa-apa nanti Nenek yang disalahin,” kata Nenek menegur.

Baru kali ini nenek melarang. Selama ini nenek selalu membiarkan apa pun yang saya lakukan dan selalu memberikan apa yang saya inginkan, sehingga ketika nenek menegur rasanya sakit sekali. Tidak terima dengan apa yang nenek lakukan, saya masuk ke kamar dan membereskan baju, memasukkannya ke dalam tas. Awalnya saya berniat untuk menghabiskan liburan di sini setelah tadi diantar bapak dengan mobil umum. Tapi tidak! Saya harus pulang sekarang juga. Ngapain liburan di sini kalau tidak boleh bersenang-senang.

Saya keluar rumah tanpa pamit kepada nenek dan kakek, terus berjalan sekitar 2 km menuju ‘terminal’ tempat mobil umum biasa mangkal. Bukan terminal sesungguhnya, hanya sebuah tempat di dekat pasar tempat kendaraan unum menunggu penumpang. Saya pun pulang dengan membawa kesal. Perjalanan dari kampung nenek ke rumah sekitar 1 jam.

“Assalamu’alaikum,” saya mengucapkan salam sambil masuk ke rumah.

“Wa'alaikumussalam. Kok sudah pulang lagi? Gak jadi liburannya?” tanya emak yang lagi duduk di ruang tamu.

Gak,” jawab saya pendek.

“Eteh pulang sama siapa?”

“Sendiri.”

“Berani gitu?”

Lha ini sudah sampai rumah,” jawab saya sambil masuk ke kamar. Ketika itu usia saya sekitar 12 tahun, masih SD kelas 6. Belum terbiasa pergi jauh sendirian.

 Keesokan harinya, saya masih berada di kamar ketika terdengar suara nenek.

“Ada si Eteh pulang ke sini?”

“Ada. Kenapa memangnya?” Emak bertanya heran.

“Kemarin tiba-tiba menghilang setelah dinasehati. Dicari ke mana-mana gak ada. Kirain gak pulang,” kata nenek.

“Memangnya Eteh gak bilang mau pulang?”

Nggak. Kayaknya dia ngambek gara-gara ditegur.”

Aku pun tetap di kamar pura-pura gak tahu apa yang terjadi.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman body rafting di Citumang Pangandaran: Seru dan Berkesan!

Memaafkan Diri Sendiri: Hadiah Terbaik untuk Hati

Pesona Pantai Pangandaran yang Tak Terlupakan